Keserakahan, Iri Dengki, dan Korupsi

Serakah mempunyai arti tidak pernah puas diri (dalam arti negatif), dan keserakahan dapat diartikan sebagai keinginan untuk tidak berbagi dengan yang lain. Keserakahan berseberangan dengan sifat ingin berbagi, ringan tangan senang memberi, dan ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial di Sila 5. Apabila patriotisme tumbuh dari rasa kesatuan, rasa ikut memiliki, rasa kesetiaan, rasa senasib sepenanggungan, dan semangat gotong royong. Maka sebaliknya, keserakahan timbul dari perasaan berbeda dari orang lain, merasa memiliki derajat lebih tinggi dari orang lain sehingga bebas berbuat sewenang-wenang. Keserakahan menimbulkan rasa ingin memiliki yang bukan haknya, menghilangkan rasa setia, menjadi pengkhianat, iri dengki, dan menjadi pemicu dari segala kejahatan besar seperti kolusi korupsi dan nepotisme. Keserakahan tidaklah melulu terhadap harta, tetapi juga terhadap kekuasaan, kedudukan, pengaruh, atau apa saja.

Iri dengki adalah salah satu penyakit yang timbul dari keserakahan. Penyakit ini bisa sangat merasuk di masyarakat, seperti yang pernah dikatakan oleh seorang budayawan: "Bangsa ini adalah bangsa yang kuat menderita bersama, tetapi tidak kuat menahan perasaan iri jika melihat orang lain hidup lebih senang". Tanpa keserakahan, maka seharusnya seseorang akan merasa senang jika melihat orang lain senang. Di sisi lain, iri dengki sangatlah dekat dengan sikap kritis. Keserakahanlah garis pemisah antara sikap kritis dan iri dengki. Sikap kritis diperlukan sebagai alat pengontrol dari keserakahan orang lain. Jika seseorang mencapai sesuatu dengan cara yang wajar, maka dia patut mendapat pujian. Tetapi jika dia mencapainya dengan cara yang tidak benar, maka diperlukan sikap kritis untuk mengontrolnya. Agar sikap kritis tidak mudah berubah menjadi iri dengki, maka perlu dikembangkan sifat adil (fairness) dan sportivitas dalam kehidupan sehari-hari.

Keserakahan yang bertemu dengan kesempatan akan mudah berubah menjadi korupsi. Korupsi tak ubahnya adalah seperti selingkuh, selingkuh terhadap rakyat, bangsa, dan negara. Seperti halnya orang yang sudah mabuk maksiat akan mengatakan bahwa selingkuh itu indah atau selingkuh itu nikmat. Maka demikian juga orang yang sudah merasakan nikmatnya korupsi, senang mendapat uang besar tanpa memberikan jasa dan tenaga apa-apa, mereka akan terus kecanduan untuk melakukannya. Tidak peduli berapa besar kerusakan yang mereka akibatkan. Tidak peduli dengan dosa neraka. Seperti iblis yang menarik manusia untuk masuk neraka, para koruptor itupun menciptakan suatu sistem yang memaksa semua orang yang masuk ke sistemnya untuk terlibat di dalam tindakan maksiat tersebut. Dan bagaikan kanker ganas, korupsi sudah merasuk ke dalam setiap sendi-sendi masyarakat, disadari maupun tidak disadari. Kejujuranlah lawan dan obat dari korupsi. Bagaimana cara menanamkan kejujuran sebagai salah satu faktor utama harga diri manusia adalah kunci melawan korupsi. Memperlakukan koruptor sebagai pengkhianat bangsa sampah masyarakat yang serendah-rendahnya adalah suatu keharusan untuk memberi efek jera. Selain juga memperbaiki sistem yang sudah terlanjur dirusak oleh mereka.

Pancasila sila 3

* 0 komentar:

*
TOLERANSI VS TENGGANG RASA
Toleransi dan tenggang rasa mempunyai arti yang mirip. Akan tetapi dalam penggunaannya timbul pergeseran arti, sehingga kurang lebih menjadi seperti berikut: Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan kita terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita.



MENJAGA TRANSPARANSI DAN KOMUNIKASI
Menjaga transparansi dan komunikasi adalah penting sekali untuk mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang bisa merugikan antara dua belah pihak.
Baca selengkapnya >>

Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Hikmat dapat diartikan sebagai wawasan dan kemampuan untuk menalar jauh ke depan melampaui alam kehidupan di dunia saja. Orang yang berhikmat memandang kehidupan dunia adalah satu kesatuan dengan kehidupan di akhirat kelak. Mereka memahami betul hakekat dari baik dan buruk, sehingga mereka tidak akan mengeksploitasi kehidupan dunia tanpa memikirkan akibatnya kelak di akhirat.

Bijaksana adalah wawasan dan kemampuan untuk berpikir jauh ke depan di dunia ini. Orang yang bijaksana mampu menganalisa akibat suatu tindakan, manfaat dan mudharatnya bagi orang lain (bangsa, masyarakat) maupun bagi diri mereka sendiri, tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka menengah, dan jangka panjang bahkan sesudah mereka tidak hidup di dunia ini lagi.

Dengan kata lain para pemimpin, termasuk didalamnya adalah para wakil rakyat, haruslah orang-orang yang bermoral, berilmu pengetahuan tinggi, dan punya wawasan intelektual yang lengkap. Para pemimpin dan wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili.

Pada dasarnya, seluruh nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila adalah termasuk di dalam Hikmat Kebijaksanaan ini. Nilai-nilai luhur itu adalah: nilai-nilai luhur agama di Sila 1, nilai-nilai luhur kemanusiaan di Sila 2, nilai-nilai pentingnya persatuan di Sila 3, nilai-nilai keutamaan dari demokrasi kerakyatan di Sila 4, dan pemahaman tentang keadilan sosial sebagai tujuan akhir dan pedoman arah bagi sila-sila sebelumnya di Sila 5.