Istilah nyawa bayar nyawa sudah melekat kuat di masyarakat kita, bahkan seolah-olah sudah menjadi tradisi saja. Nyawa bayar nyawa tidaklah salah asal dilakukan dengan penuh kebijaksanaan. Tetapi nyawa bayar nyawa adalah sama sekali salah jika dilakukan hanya untuk memuaskan hawa nafsu belaka.
Dalam Islam ada hukum qishas, nyawa bayar nyawa. Akan tetapi di Islam sangat ditekankan bahwa memberi ampun (oleh keluarga korban) adalah jauh lebih baik. Apa yang ingin ditekankan oleh Islam di sini adalah bahwa keadilanlah yang harus ditegakkan, bukannya tindakan membalas dendam memuaskan hawa nafsu.
Dalam kenyataannya, tindakan nyawa bayar nyawa tidaklah selalu berarti adil. Misalkan seorang petinju yang mati di ring, apakah lawannya harus juga dibunuh? Jelas tidak. Apakah pelaku penyebab kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa harus selalu dihukum mati? Jelas tidak. Apakah kita rela kalau para TKW dihukum mati sedangkan dia adalah orang yang menjaga kehormatannya? Sama sekali tidak.
Oleh karena itu, nyawa bayar nyawa, sekali lagi, harus diperlakukan dengan penuh kebijaksanaan, agar tidak menodai keadilan itu sendiri. Tindakan main hakim sendiri sangat diharamkan. Bukan hanya karena berpotensi mencederai keadilan, tetapi juga karena bisa memicu tindakan yang lebih biadab dan di luar peri kemanusiaan. Contoh: Kasus Mesuji, dan tindakan pemerintah mengusut setiap pembunuhan kasus per kasus adalah benar. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa lebih baik main hakim sendiri, karena hukum tidak ditegakkan dengan benar di negeri ini. Kalau memang itu yang terjadi, maka biarlah para penegak hukum itu yang masuk neraka dan mendapat karmanya sendiri-sendiri. Rakyat tidaklah perlu ikut masuk neraka, rakyat harus selalu sadar. Karena bagaimanapun juga, negeri ini adalah negara hukum, jangan sampai menjadi negara balas dendam.
.......
* 0 komentar:
Posting Komentar