Ritual Seremonial

Jaman yang semakin materialistis, praktis, dan serba instant ini menstimulasi manusia menjadi cenderung lebih menyenangi hal-hal yang bersifat praktis, cepat, kelihatan nyata, mudah, tidak suka yang ribet-ribet, dan selalu berorientasi kepada keuntungan. Efek buruk yang terjadi adalah pola pikir yang pendek, yaitu manusia menjadi semakin sulit dan semakin malas untuk berfikir lebih panjang, lebih dalam, lebih teliti, dan tidak mau susah-susah memikirkan akibat dari perbuatannya yang mungkin kurang baik. Contoh: politik praktis, atau bahkan mie instant.

Budaya praktis ini menjadi kurang menguntungkan ketika bersinggungan dengan ritual-ritual dalam kehidupan, baik itu ritual negara (upacara bendera, dst), ritual agama (khotbah, dst), ataupun ritual lainnya. Timbul perasaan bahwa ritual-ritual tersebut hanya menghabiskan waktu, energi, dan materi saja. Ini menyebabkan pergeseran niat dari menghadiri untuk memahami, menjadi menghadiri hanya untuk sekedar absensi. Dan lama kelamaan ritual-ritual tersebut hanya menjadi sekedar seremonial belaka.

Seperti halnya buah yang tinggal kulitnya dan tidak ada isinya, buah ini pasti akan dibuang. Demikian juga dengan ritual-ritual yang bersifat seremonial belaka, lama kelamaan ritual-ritual tersebut akan ditinggalkan. Dan ini adalah kerugian besar bagi bangsa ini, karena ritual-ritual ini adalah salah satu alat untuk menjaga dan memelihara moral dan sistem yang berjalan di masyarakat dan di negara ini. Dibutuhkan suatu kesadaran untuk tetap melestarikan ritual-ritual yang bermanfaat dengan cara yang bijaksana dan tidak berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan perasaan senang dan tidak malah membuat bosan, apalagi muak.

Pancasila sila 2

Intermezzo: Kulit dan Isi

* 0 komentar:

*
TOLERANSI VS TENGGANG RASA
Toleransi dan tenggang rasa mempunyai arti yang mirip. Akan tetapi dalam penggunaannya timbul pergeseran arti, sehingga kurang lebih menjadi seperti berikut: Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan kita terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita.



MENJAGA TRANSPARANSI DAN KOMUNIKASI
Menjaga transparansi dan komunikasi adalah penting sekali untuk mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang bisa merugikan antara dua belah pihak.
Baca selengkapnya >>

Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Hikmat dapat diartikan sebagai wawasan dan kemampuan untuk menalar jauh ke depan melampaui alam kehidupan di dunia saja. Orang yang berhikmat memandang kehidupan dunia adalah satu kesatuan dengan kehidupan di akhirat kelak. Mereka memahami betul hakekat dari baik dan buruk, sehingga mereka tidak akan mengeksploitasi kehidupan dunia tanpa memikirkan akibatnya kelak di akhirat.

Bijaksana adalah wawasan dan kemampuan untuk berpikir jauh ke depan di dunia ini. Orang yang bijaksana mampu menganalisa akibat suatu tindakan, manfaat dan mudharatnya bagi orang lain (bangsa, masyarakat) maupun bagi diri mereka sendiri, tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka menengah, dan jangka panjang bahkan sesudah mereka tidak hidup di dunia ini lagi.

Dengan kata lain para pemimpin, termasuk didalamnya adalah para wakil rakyat, haruslah orang-orang yang bermoral, berilmu pengetahuan tinggi, dan punya wawasan intelektual yang lengkap. Para pemimpin dan wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili.

Pada dasarnya, seluruh nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila adalah termasuk di dalam Hikmat Kebijaksanaan ini. Nilai-nilai luhur itu adalah: nilai-nilai luhur agama di Sila 1, nilai-nilai luhur kemanusiaan di Sila 2, nilai-nilai pentingnya persatuan di Sila 3, nilai-nilai keutamaan dari demokrasi kerakyatan di Sila 4, dan pemahaman tentang keadilan sosial sebagai tujuan akhir dan pedoman arah bagi sila-sila sebelumnya di Sila 5.