Disiplin bukanlah sesuatu yang umum di negeri ini, sebaliknya tidak disiplin justru adalah hal yang lumrah. Bahkan tak jarang orang menjadikan pelanggaran disiplin sebagai suatu kebanggaan atau simbol keberanian. Lebih parah lagi, lembaga yang paling menjunjung tinggi disiplinpun ternyata hanya disiplin bila berada di dalam lingkungannya sendiri. Dengan kata lain, mereka hanya disiplin di satu hal tetapi tidak disiplin dalam hal lainnya. Juga banyak terjadi, mereka yang seharusnya menegakkan disiplin, justru memberikan contoh melanggarnya, yang tentu saja akhirnya diikuti oleh orang banyak.
Ketidak disiplinan adalah salah satu akar utama dari pohon korupsi, karena ketidak disiplinan akan memicu timbulnya penyelewengan-penyelewengan. Dan penyakit tidak disiplin ini, seperti juga korupsi, sudah mendarah daging di masyarakat kita. Contoh: Apakah on-time sudah menjadi kebiasaan kita? Rasanya belum. Bahkan tak jarang yang tua mencontohkan ketidak disiplinan terhadap waktu ini kepada yang lebih muda. Atasan memberi contoh ke bawahan. Bahkan guru memberikan contoh ke murid-muridnya. Ini baru masalah waktu, belum masalah lainnya seperti disiplin terhadap peraturan, antrian dst. Bagaimana korupsi bisa dibasmi jika tidak ada disiplin?
Selanjutnya toleransi. Toleransi dan disiplin sangat erat berkaitan. Menegakkan disiplin terkadang terasa seperti kurang bertoleransi. Sebaliknya membesarkan toleransi sering berarti melonggarkan disiplin. Ini terjadi karena adanya cara pandang yang salah terhadap toleransi. Toleransi seharusnya bergerak ke arah kebenaran, bukan kesalahan. Tetapi di negeri ini tampaknya toleransi bergeser ke arah yang keliru. Orang cenderung mempunyai toleransi yang besar terhadap kesalahan, sebaliknya toleransinya sempit kalau menyangkut kebenaran. Contohnya adalah:
Dalam hal beragama: agama manapun selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran, tapi kalau sudah menyangkut perkara agama, orang bisa bermusuhan habis-habisan bahkan sampai bunuh-bunuhan. Ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan ajaran dan tujuan beragama itu sendiri. Sangat ironis sekali. Sebaliknya hukuman sosial bagi para koruptor tampaknya tidak akan pernah jalan di negeri ini. Ini terlihat dari ucapan-ucapan simpati dari teman-teman sang koruptor pada saat dia ditangkap. Bahkan tak jarang seorang koruptor ternyata justru disanjung-sanjung di daerahnya sendiri, karena dia adalah tokoh masyarakat yang sering beramal di sana. Sekali lagi, sungguh sangat ironis sekali.
Penyakit toleransi yang keliru ini, seperti juga ketidak-disiplinan dan korupsi, sudah mendarah daging di masyarakat kita. Contoh: Apakah saling koreksi sudah menjadi kebiasaan kita? Mungkin justru semakin menjauh. Orang biasanya malah marah kalau dikoreksi, janganlah harap ada ucapan terimakasih karena telah dikoreksi. Padahal kebiasaan saling koreksi adalah sangat baik sebagai perwujudan dari 'toleransi yang besar terhadap kebaikan dan kecil terhadap kesalahan'. Bagaimana kita bisa menegakkan disiplin dan memberantas korupsi jika menerapkan cara yang benar dalam bertoleransi saja kita masih kesulitan?
Jika disiplin dan ‘toleransi yang benar’ diragukan dimiliki bangsa ini, maka mungkinkah sikap anti-korupsi sudah menjadi kebiasaan kita? Maka beginilah kira-kira:
Setelah keliling mencari arti kata korupsi, akhirnya saya simpulkan sendiri bahwa arti korupsi itu adalah "mengambil/memanfaatkan sesuatu yang bukan haknya". Ini berarti mencuri, merampok, bahkan nyontekpun termasuk dalam kategori korupsi. Dan ini berarti hampir semua orang mungkin pernah korupsi, mulai dari orang kecil sampai orang besar, mulai dari yang muda sampai yang tua, mulai dari korupsi kecil-kecilan sampai dengan yang jumbo, yang maling teriak maling, atau 'koruptor teriak koruptor'. Biarpun memang, koruptor yang paling besar adalah mereka yang menyalahgunakan jabatan dan amanah dari rakyat dan Tuhan. Karena yang terakhir ini mempunyai efek merusak yang jauh lebih besar.
Nah jika hampir semua orang ‘salah dalam bertoleransi’, tidak disiplin, dan melakukan korupsi, lalu apakah mungkin korupsi dihapus dari bumi negeri ini? Ibarat penyakit kanker, korupsi di negeri ini sudah memasuki stadium 4, kronis. Harapan untuk sembuh selalu ada, tetapi terapinya akan sangat lama dan menyakitkan. Semua orang tahu bahwa korupsi di negara ini sudah berjalan sistematis dan merasuk dalam-dalam ke seluruh sistemnya. Proses penyembuhan harus dilakukan perlahan-lahan, karena kalau drastis malah bisa melumpuhkan sistem yang ada. Jika penyembuhan kanker stadium 4 bisa berjalan bertahun-tahun, maka korupsi yang ukurannya adalah negara bisa membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun atau bergenerasi-generasi.
Lalu siapakah yang patut menjadi 'dokter', yang bisa mengobati penyakit korupsi di negara ini? Karena bahkan lembaga-lembaga yang seharusnya memerangi korupsi, tidak menutup kemungkinan juga melakukan korupsi. Sulit dibayangkan bahwa koruptor akan memerangi korupsi. Istilah yang sering dipakai: ‘Membersihkan dengan sapu kotor’, mustahil. Memang selalu ada kemungkinan adanya orang-orang yang benar-benar anti-korupsi di negara ini. Orang-orang yang benar-benar bersih jalan hidupnya. Tetapi berapa jumlahnya orang-orang seperti ini? Dapat diperkirakan bahwa jumlahnya sangatlah sedikit. Apabila digambarkan maka kira-kira akan seperti ini:
Terlihat bahwa yang benar-benar putih anti-korupsi hanya segelintir orang di ujung kanan. Apalagi jika kategorinya ditambah dengan yang mempunyai kapasitas kemampuan memberantas korupsi, maka pasti jumlahnya akan jauh lebih sedikit lagi. Apalah artinya segelintir orang yang benar-benar anti-korupsi tersebut menghadapi dan mengobati hampir semua orang yang pro-korupsi. Catatan: yang termasuk pro-korupsi adalah pelaku korupsi itu sendiri, baik yang kecil-kecilan seperti korupsi waktu atau korupsi trotoar, sampai koruptor kelas kakap, ditambah dengan orang-orang yang mendiamkan atau bahkan melindungi koruptor. Karena membiarkan suatu kejahatan adalah berarti termasuk ikut andil dalam kejahatan tersebut.
Di negara ini, perang melawan korupsi bukan lagi perang melawan orang per orang, atau kelompok per kelompok. Memerangi koruptor orang per orang, atau kelompok per kelompok, tidak akan pernah menuntaskan korupsi di negeri ini. Kasus yang sama akan kembali terjadi, dan terjadi lagi berulang kali. Saat ini, perang melawan korupsi sudah berubah menjadi perang klasik antara ‘hitam’ melawan ‘putih’, antara 'sistem-yang-menciptakan-koruptor' melawan 'sistem-yang-menciptakan-anti-korupsi'. Dan yang diperebutkan adalah mereka yang ‘abu-abu’. Termasuk dalam kategori ‘abu-abu’ adalah mereka yang melakukan korupsi tapi tidak menyadarinya, seperti yang korupsi waktu tersebut. Mereka ini biasanya juga sangat menentang korupsi, tanpa menyadari bahwa kemungkinan besar mereka juga memiliki benih-benih korupsi di dalam dirinya. Semakin banyak si ‘abu-abu’ semakin senang si ‘hitam’, karena selain bisa menjadi tameng, banyaknya ‘abu-abu’ juga akan memudahkan si ‘hitam’ untuk melakukan perekrutan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Di negara-negara maju, korupsi lebih mudah dikendalikan karena pelaku korupsi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang masih waras. Di negeri ini, mereka yang benar-benar anti korupsi bukan hanya kalah jumlah, tetapi juga jauh lebih inferior dibandingkan dengan bos-bos koruptor yang menguasai sistem-sistem di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sistem yang berjalan di negeri ini didisain untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Sistem yang korup didisain agar sesama koruptor bisa saling melindungi. Oleh karena itu, hukuman tidak akan menyurutkan langkah mereka, apalagi hanya sekedar cacian atau sindiran. Hati dan muka mereka sudah terlalu tebal untuk itu. Mereka yang merasa dikorbankan itupun sebenarnya sudah dikondisikan supaya tidak bertindak lebih jauh lagi. Di balik mereka masih ada bos-bos koruptor dengan jaringan dan sistem yang luar biasa kuat, sehingga seolah-olah mustahil untuk disentuh. Mungkin hanya Tuhan yang bisa menghujum mereka saat ini. Akan tetapi hukuman itu pasti akan datang, cepat atau lambat, sekarang atau kelak.
Prediksi: Korupsi tidak akan dapat diselesaikan di negeri ini pada generasi ini, atau satu atau dua generasi ke depan (harapan: semoga prediksi ini salah). Ada kemungkinan bahwa korupsi tidak akan pernah hilang dari bumi pertiwi, selama masyarakatnya tidak menyadari bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri. Yaitu dengan selalu menanamkan disiplin yang kuat dan toleransi yang benar ke dalam diri sendiri. Baru kemudian mengajarkannya ke anak-anak dan keluarganya. Dan selanjutnya barulah ke lingkungan sekitarnya. Dengan demikian sedikht demi sedikit jumlah yang anti-korupsi akan semakin bertambah besar dan akhirnya jauh melampaui yang pro-korupsi, seperti gambar di bawah. Dan pada saat itulah korupsi baru benar-benar dapat dimusnahkan dari negara kita tercinta ini.
Dan untuk menambah jumlah orang-orang yang benar-benar anti-korupsi tersebut, maka harus diciptakan suatu sistem tersendiri. Dimana ‘sistem yang menciptakan anti-korupsi’ ini hampir mustahil akan diciptakan oleh pemerintah, karena di sanalah tempat para koruptor. Masyarakatlah yang harus menciptakan ‘sistem anti-korupsi’ ini, karena masyarakatlah yang menjadi korban selama ini. Tujuan dari ‘sistem anti-korupsi’ ini adalah untuk merubah sebanyak-banyaknya mereka yang ‘abu-abu’, yang kemungkinan besar termasuk diri kita sendiri, agar menjadi ‘si putih’. Dengan demikian maka ‘si hitam’ lama kelamaan akan terdesak dan akhirnya bisa dimusnahkan sampai habis.
Cara-cara menciptakan 'sistem yang menciptakan anti-korupsi' antara lain adalah:
1. Mengajarkan agama sejak dini kepada anak-anak untuk menanamkan dasar-dasar kebaikan dan kebenaran. Ibarat pepatah: 'belajar di usia muda seperti memahat di batu, belajar di usia tua seperti menulis di air', itulah pentingnya pelajaran agama di usia dini. Belajar agama di usia tua tidak menjamin bahwa seseorang akan menjadi lebih baik, kecuali jika dasar-dasarnya memang sudah baik, atau jika mendapat hidayah. Bahkan tak jarang, ada juga manusia yang memanfaatkan panji-panji agama semata-mata hanya untuk kepentingan pribadinya. Pengajaran agama juga harus menghindari fanatisme, karena fanatisme akan menggeser toleransi ke arah yang salah.
2. Korupsi tidak berdiri sendiri, banyak faktor yang kait mengait dengannya. Oleh karena itu penting untuk mempelajari segala aspek yang berkaitan dengan korupsi. Selain aspek utama seperti toleransi dan disiplin, masih banyak aspek-aspek lain yang berkaitan dengan korupsi seperti: birokrasi, kolusi, nepotisme, keserakahan, kekuasaan, hukum dan perundang-undangan, mafia dan konglomerasi, kebijakan sesat, kesenjangan sosial, kemiskinan, kemerosotan moral, budaya materialistis, profesionalisme, integritas, jiwa patriotisme, nasionalisme, loyalitas, keadilan, politik dan ideologi, humanisme, permisif, kejujuran, tanggung jawab, kemandirian batin, kematangan jiwa, kebodohan, tradisi, idealisme, kepentingan pihak asing, penjajahan modern, dan mungkin masih banyak lagi. Memahami segala aspek yang berkaitan dengan korupsi, urutan-urutan prioritasnya, dan hubungan antar aspeknya, akan mempermudah dalam pencarian solusi yang utuh.
3. Korupsi adalah penyakit menular. Oleh karena itu perlu untuk mempelajari modus operandi dan perilaku dari korupsi, yang kira-kira adalah seperti berikut:
Bahwa pada dasarnya, setiap orang pasti memahami konsep tentang hak dan kewajiban. Bahkan para koruptorpun pasti tahu bahwa tidak baik mengambil sesuatu yang bukan haknya, apalagi jika itu adalah hak orang lain. Mereka sanggup dan sampai hati melakukan korupsi karena sistem yang ada telah mengkondisikan mereka untuk melakukan pembenaran-pembenaran. Misalnya: bahwa semua orang juga melakukannya, atau ada yang lebih besar korupsinya, atau bahwa dia terpaksa melakukannya, atau bahwa itu memang sudah menjadi haknya, dan 1001 alasan pembenaran lainnya. Pembenaran-pembenaran ini mempunyai efek seperti obat bius, yang bisa menekan rasa bersalah mereka. Dan seperti biasa, umumnya semua berawal dari yang kecil dan lama-lama menjadi besar. Contoh: Pada awalnya korupsi karena merasa gaji kurang cukup atau kurang puas, terus ikut-ikutan, lama-lama keenakan, ketagihan, menjadi kebiasaan, dan akhirnya timbullah keserakahan.Kelemahan-kelemahan manusiawi seperti di atas inilah yang dimanfaatkan oleh ‘sistem-yang-menciptakan-koruptor’ untuk merekrut mereka yang ‘abu-abu’. Dengan mempelajari modus operandi dan perilaku perkorupsian, maka tindakan-tindakan antisipasi dapat diterapkan sejak dini, dengan cara mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi situasi dan kondisi seperti di atas.
4. Adapun cara-cara yang lain yang telah ditempuh seperti: KPK, UU Anti Korupsi, komputerisasi sistem, dan lainnya, akan berfungsi sebagai katalisator, yang bisa mempercepat hilangnya korupsi dari bumi pertiwi.
Sudah banyak sekali artikel-artikel yang membahas korupsi, dan artikel ini hanyalah salah satunya. Sangat diharapkan agar selalu muncul artikel-artikel lain yang bisa mengobarkan semangat anti-korupsi dan memberikan solusi yang benar-benar applicable, sehingga korupsi bisa cepat teratasi. Dan apabila semua ikhtiar sudah dilakukan, maka tinggallah satu ikhtiar lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu doa. Apabila seluruh bangsa ini berdoa agar korupsi dihapus dari muka bumi pertiwi, maka Tuhan pasti akan mengabulkannya. Amin.
* 3 komentar:
benar sekali artikelnya ..penyakit kkn sudah kronis dan sdh menjiwa hampir disetiap aspek..bgamana tidak...hampir semua level bwah sampai atas terkontaminasi penyakit tsb...adakah solusi yg mengena??toh skg sdh banyak solusi tetapi msh blum jg sembuh???
saya menyimak. Setuju dengan isinya, tetapi ingin memperoleh pencerahan yang lebih inspiratif.
@arie w
solusi jangka pendek kelihatannya sulit, karena diperlukan suatu kesadaran bersama bahwa kkn ini sangat merugikan dan harus dibasmi, dan menumbuhkan kesadaran ini adalah suatu proses yang membutuhkan waktu yang panjang
trims ya atas komennya.
@didisederhana
trims sudah mampir didi
semoga akan segera bermunculan ide-ide lain yang lebih cemerlang demi bangsa ini, amin
Posting Komentar