Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Kerakyatan adalah identik dengan demokrasi, yaitu: "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Penggunaan kata "Kerakyatan" berarti adalah demokrasi yang diwarnai oleh watak asli rakyat Indonesia, yaitu: kekeluargaan, gotong royong, tenggang rasa, tepa salira, santun, penuh rasa kerukunan, tolong menolong dalam kebaikan, dst.

Dipimpin di sini menyiratkan adanya pemimpin. Pemimpin bisa berarti dua, yang pertama adalah yang bersifat semangat (spirit), dan yang kedua adalah yang berupa manusia pemimpin. Semangat yang dimaksud adalah "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Sedangkan manusia pemimpin adalah orang yang diliputi semangat tersebut, dan mampu menjadi yang terdepan di dalam pengejawantahannya.

Seorang pemimpin sebaiknya adalah yang terbaik dari kaumnya. Secara intelektual, seorang pemimpin sebaiknya mempunyai kemampuan yang mumpuni di bidang tertentu, dan mumpuni dalam hal manajerial (lintas bidang), sehingga bisa menguasai wawasan x-y (atau horisontal-vertikal, atau scope-scale), sehingga dapat memahami bidang-bidang kehidupan. Ini penting agar dapat memahami kaum yang diwakilinya dengan baik.

Secara keseluruhan, seorang pemimpin haruslah seorang  figur manusia ideal. Semakin tinggi jabatan kepemimpinan, maka harus semakin tinggi standart ideal yang harus diterapkan. Meskipun yang dimaksudkan pemimpin di sini adalah para wakil rakyat, akan tetapi kategori pemimpin jelas juga termasuk para petinggi negara, para tokoh masyarakat, dst.

Dalam demokrasi, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan cara voting. Ini adalah untuk mencari suara terbanyak. Hal negatif yang dapat timbul dari cara ini adalah timbulnya ketidak puasan dari mereka yang kalah suara. Ada kemungkinan bahwa mereka tidak akan mendukung sepenuhnya hasil keputusan, bahkan dalam bentuk ekstrim mereka bisa menjadi oposisi.

Alternatif lain adalah musyawarah, musyawarah untuk mufakat. Musyawarah adalah untuk mencari jalan tengah, yang disetujui oleh semua pihak. Di sini tidak ada pihak yang merasa dikalahkan, sehingga diharapkan keputusan yang diambil akan didukung sepenuhnya oleh semua pihak. Musyawarah adalah untuk mencari win-win solution, dan ini adalah watak asli bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa.

Perwakilan di sini harus bersifat Simbiosis Mutualisme. Bentuk simbiosis lainnya haruslah dihindari, bahkan dilarang. Simbiosis Mutualisme berarti hubungan yang saling menguntungkan kedua pihak. Rakyat membutuhkan wakilnya, dan mengharapkan keuntungan dari wakilnya tersebut. Sementara wakil rakyat membutuhkan dukungan dari rakyat yang diwakilinya, agar dia bisa menyalurkan idealismenya untuk kepentingan rakyat banyak.

Hubungan antara rakyat dan wakilnya haruslah tidak boleh terputus dengan alasan apapun. Karena jika hubungan tersebut terputus, atau bahkan tidak ada sama sekali sejak awal, maka akan timbul exclusivitas. Wakil rakyat akan menganggap dirinya berada di kasta tersendiri, tidak memperdulikan rakyat, dan hanya memperdulikan golongannya sendiri, atau bahkan hanya perduli pada dirinya sendiri. Wakil rakyat wajib menjaga transparansi dan komunikasi dengan yang diwakili.

Wakil rakyat adalah pemegang amanat dari Tuhan, begitu pentingnya suara rakyat sampai ada ungkapan di dalam demokrasi bahwa seolah-olah: Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Mereka akan mempertanggung jawabkan amanat ini di dunia dan di akhirat kelak. Tidak sepantasnya para wakil rakyat bersenang-senang selama rakyat yang diwakilinya belum hidup senang. Ini bukan berarti melanggar hak asasi, karena mereka boleh melakukan apa saja asalkan sudah tidak menjadi wakil rakyat lagi.

Pancasila sila 4

Artikel terkait: Hikmah Kebijaksanaan, Sila 4: Hubungannya Dengan Sila Lainnya

* 4 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya tak sependapat dengan pernyataan bahwa Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Tuhan jangan disamakan dengan rakyat, semua kebenaran datang dari Tuhan yang disalurkan melalui pikiran hati nurani rakyat. Jadi, rakyat yang ideal hanya mau menaati perasaan yang benar. Jangan sekali-kali mengatakan bahwa Suara rakyat itu adalah suara Tuhan

Izzul_Cool mengatakan...

Pemikiran Anda baik dan bagus
Tetaplah menjadi idealis! Tetaplah menjadi agen perubahan

Semoga Anda tetap idealis dan tidak silau oleh maraknya pemimpin-pemimpin baru yang hanya mementingkan pencitraan dimana-mana dan pura-pura berpihak pada kepntingan rakyat.

Izzul Fatchu Reza





Anonim mengatakan...

gan. maaf bisa copas ga. untuk materi kuliah.
sebagai bahan revensi

Admin mengatakan...

@Anonim
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas komentarnya dan maaf agak terlambat membalasnya.
Saya setuju bahwa Tuhan tidak bisa disamakan dengan rakyat. Ungkapan itu berasal dari bahasa Latin 'Vox Populi, Vox Dei', yang menurut saya (IMO), bergaya bahasa hiperbol, yang intinya menekankan betapa pentingnya suara rakyat. Bahwa kepentingan rakyat haruslah berada di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Terima kasih koreksinya, selanjutnya artikelnya akan saya revisi:
"karena di dalam demokrasi: Suara..."
menjadi
"begitu pentingnya suara rakyat sampai ada ungkapan di dalam demokrasi bahwa seolah-olah: Suara..."

sekali lagi terima kasih dan salam


@Izzul_Cool
Pak Izzul,
Terima kasih atas apresiasinya. Dan semoga negara ini menjadi semakin baik hari demi hari. Amin.

Salam hormat dari saya.


@Anonim
Boleh saja, cuman diblog ini sudah terlanjur disetting tidak bisa di klik kanan, dan saya sendiri sudah lupa cara me-non aktif-kannya :) jadi ya terpaksa diketik ulang, atau kirim saja email anda ke email saya taufiq.urrochman@yahoo.co.id biar nanti saya copykan dari menu edit.

Trims ya sudah mampir di sini.
Hormat saya

*
TOLERANSI VS TENGGANG RASA
Toleransi dan tenggang rasa mempunyai arti yang mirip. Akan tetapi dalam penggunaannya timbul pergeseran arti, sehingga kurang lebih menjadi seperti berikut: Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan kita terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita.



MENJAGA TRANSPARANSI DAN KOMUNIKASI
Menjaga transparansi dan komunikasi adalah penting sekali untuk mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang bisa merugikan antara dua belah pihak.
Baca selengkapnya >>

Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Hikmat dapat diartikan sebagai wawasan dan kemampuan untuk menalar jauh ke depan melampaui alam kehidupan di dunia saja. Orang yang berhikmat memandang kehidupan dunia adalah satu kesatuan dengan kehidupan di akhirat kelak. Mereka memahami betul hakekat dari baik dan buruk, sehingga mereka tidak akan mengeksploitasi kehidupan dunia tanpa memikirkan akibatnya kelak di akhirat.

Bijaksana adalah wawasan dan kemampuan untuk berpikir jauh ke depan di dunia ini. Orang yang bijaksana mampu menganalisa akibat suatu tindakan, manfaat dan mudharatnya bagi orang lain (bangsa, masyarakat) maupun bagi diri mereka sendiri, tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka menengah, dan jangka panjang bahkan sesudah mereka tidak hidup di dunia ini lagi.

Dengan kata lain para pemimpin, termasuk didalamnya adalah para wakil rakyat, haruslah orang-orang yang bermoral, berilmu pengetahuan tinggi, dan punya wawasan intelektual yang lengkap. Para pemimpin dan wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili.

Pada dasarnya, seluruh nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila adalah termasuk di dalam Hikmat Kebijaksanaan ini. Nilai-nilai luhur itu adalah: nilai-nilai luhur agama di Sila 1, nilai-nilai luhur kemanusiaan di Sila 2, nilai-nilai pentingnya persatuan di Sila 3, nilai-nilai keutamaan dari demokrasi kerakyatan di Sila 4, dan pemahaman tentang keadilan sosial sebagai tujuan akhir dan pedoman arah bagi sila-sila sebelumnya di Sila 5.