Negara Islam


Biarpun begitu adu argumentasi antara pro NI dan yang kontra tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun. Masing-masing pihak mempunyai cara pandang dan penafsiran sendiri terhadap ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi.
Dan bagi rakyat biasa, tentu saja mereka tidak begitu paham, pihak mana yang benar, mereka hanya ikut saja. Bagi mereka, tidak peduli negara mau berbentuk apa, yang penting bisa hidup tenang, beribadah tenang, tercukupi sandang, pangan, dan papan. Bahwa persatuan Indonesia jauh lebih penting dari perpecahan, apapun dalihnya. Karena perpecahan pasti akan menimbulkan kekacauan, dan ujung-ujungnya pasti rakyat juga yang dirugikan.
Katakanlah pihak yang pro NI yang menang berdebat, maka pasti masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tersisa. Salah satunya adalah:  Berapa jumlah minimal orang Islam di suatu negara hingga jatuh kewajiban untuk mendirikan NI? Berapa persen? 51%? Apa dasar hukumnya? Bagaimana jika ada orang Islam yang tidak setuju dengan NI? Apakah akan mengurangi jumlah minimum atau prosentasi minimum tersebut? Lalu orang-orang tersebut harus diapakan? Dimurtadkan?
Di era informatika sekarang, membelenggu suatu faham adalah pekerjaan yang hampir mustahil. Apabila dipaksakan, maka akan menghabiskan terlalu banyak energi, waktu, dan materi secara sia-sia, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih positif. Masyarakatlah yang akan menilai apakah suatu faham cukup realistis dan cukup berharga untuk diikuti. Tentu saja selama faham tersebut tidak melakukan penipuan, pemaksaan, apalagi kekerasan. Karena Islam adalah rahmatan lil ‘alaminWallahualam bi shawab.

Pancasila sila 3

* 0 komentar:

*
TOLERANSI VS TENGGANG RASA
Toleransi dan tenggang rasa mempunyai arti yang mirip. Akan tetapi dalam penggunaannya timbul pergeseran arti, sehingga kurang lebih menjadi seperti berikut: Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan kita terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita.



MENJAGA TRANSPARANSI DAN KOMUNIKASI
Menjaga transparansi dan komunikasi adalah penting sekali untuk mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang bisa merugikan antara dua belah pihak.
Baca selengkapnya >>

Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Hikmat dapat diartikan sebagai wawasan dan kemampuan untuk menalar jauh ke depan melampaui alam kehidupan di dunia saja. Orang yang berhikmat memandang kehidupan dunia adalah satu kesatuan dengan kehidupan di akhirat kelak. Mereka memahami betul hakekat dari baik dan buruk, sehingga mereka tidak akan mengeksploitasi kehidupan dunia tanpa memikirkan akibatnya kelak di akhirat.

Bijaksana adalah wawasan dan kemampuan untuk berpikir jauh ke depan di dunia ini. Orang yang bijaksana mampu menganalisa akibat suatu tindakan, manfaat dan mudharatnya bagi orang lain (bangsa, masyarakat) maupun bagi diri mereka sendiri, tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka menengah, dan jangka panjang bahkan sesudah mereka tidak hidup di dunia ini lagi.

Dengan kata lain para pemimpin, termasuk didalamnya adalah para wakil rakyat, haruslah orang-orang yang bermoral, berilmu pengetahuan tinggi, dan punya wawasan intelektual yang lengkap. Para pemimpin dan wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili.

Pada dasarnya, seluruh nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila adalah termasuk di dalam Hikmat Kebijaksanaan ini. Nilai-nilai luhur itu adalah: nilai-nilai luhur agama di Sila 1, nilai-nilai luhur kemanusiaan di Sila 2, nilai-nilai pentingnya persatuan di Sila 3, nilai-nilai keutamaan dari demokrasi kerakyatan di Sila 4, dan pemahaman tentang keadilan sosial sebagai tujuan akhir dan pedoman arah bagi sila-sila sebelumnya di Sila 5.