Benang Kusut Negeriku

Sampai hampir di penghujung 2011 ini, carut marut permasalahan di negara ini semakin menjadi-jadi. Berita kriminalitas di media massa semakin hari semakin mengkhawatirkan. Sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia, kasus-kasus korupsi bermunculan susul menyusul dan menghilang begitu saja silih berganti. Kemerosotan moral lintas umur lintas golongan menjadi pembicaraan umum tanpa solusi bahkan cenderung bertendensi ke arah permisive, terutama karena terdorong oleh budaya materialistis yang semakin parah merasuki bangsa ini. Terorisme, masalah kedaulatan negara, politik praktis dengan segala alasan dan tipu dayanya, KKN, pelanggaran HAM, kerusuhan SARA, dan berbagai permasalahan lain mendera bangsa ini nyaris tanpa ada penyelesaian yang benar-benar nyata, bagaikan benang kusut yang dicoba diurai tapi malah menjadi semakin kusut. Bahkan ada budayawan yang mengatakan bahwa negara ini menunjukkan ciri-ciri sebagai negara yang gagal. Naudzubillah.

Apakah manusia di Indonesia sudah sedemikian rusaknya? Benarkah kita ini adalah orang-orang yang jahat? Tidak, tentu saja tidak. Jelas kita mau dikatakan sebagai bangsa yang jahat, dan memang bukan. Kalaupun ada yang jahat, itu hanya segelintir orang saja dan biasanya juga sangatlah situasional. Bahkan para koruptor kelas kakappun, penjahat nomor satu di negeri ini, seandainya diajak bicara secara baik-baik maka pasti akan menunjukkan sisi baiknya dan berusaha untuk memberikan pembenaran-pembenaran atas tindakannya. Atau dengan kata lain, merekapun pasti masih lebih senang dianggap sebagai orang baik ketimbang dianggap sebagai orang jahat. Di sisi lain juga, pengajian-pengajian semakin sering diadakan dan semakin banyak jamaahnya. Bisa dikatakan bahwa pada dasarnya bangsa kita adalah bangsa yang religius. Hal ini jelas tercermin dari perilaku dan pembicaraan tentang filosofi kehidupan yang kerap dilakukan orang per orang di negeri ini setiap kali ada kesempatan.

Lalu bagaimana mungkin manusia yang baik menghasilkan negara yang carut marut seperti ini? Pasti ada sesuatu yang salah yang mengakibatkan semua penyimpangan ini. Satu hal yang pasti, tidaklah mudah untuk mencari solusi permasalahan bangsa ini, mengingat sudah banyak orang pandai di negeri ini yang angkat suara dan bertindak tetapi belum juga memberikan hasil yang signifikan sesudah sedemikian lamanya. Besar kemungkinan bahwa masalah bangsa ini sudah sedemikian parahnya sehingga tidak bisa diselesaikan oleh orang per orang sepandai apapun orang tersebut, atau oleh kelompok per kelompok, atau oleh golongan per golongan. Besar kemungkinan bahwa permasalahan negeri ini barulah bisa diselesaikan apabila seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali, bertekad untuk melakukan tindakan perbaikan. Ini adalah tanggung jawab seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali entah bagaimana caranya. Yang penting adalah mempunyai niat, menghilangkan sikap masa bodoh, menumbuhkan rasa peduli, dan mulai bertindak dengan tindakan sekecil apapun untuk kepentingan bangsa dan negara ini, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan dengan pemikiran seperti inilah blog ini ditulis, mencoba untuk ikut mengurai benang kusut dan semoga tidak malah menambah kekusutan, memohon ridhoNya, dan berharap agar dapat menjadi pemicu yang baik.

Berikut adalah sedikit sumbangan pemikiran untuk negeri ini tertanggal posting 28/10/2011, yang selanjutnya bila ada updating akan ditempatkan di posting berjudul "Benang Kusut Negeriku (2)". Adapun inti pemikiran ini hanya terdiri dari dua bagian yaitu 1. Manusia vs Sistem dan 2. Sistem Yang Baik. Mohon maaf bila ada kekurangan apalagi kesalahan.

1. Manusia vs Sistem
Berdasarkan pemikiran pra asumsi di atas, maka dapatlah diambil asumsi:
Asumsi 1 : Manusia Indonesia pada dasarnya adalah manusia yang baik.
Asumsi 2 : Negara ini adalah negara yang kurang baik. (maaf..)
Asumsi 3 : Ada sesuatu yang salah yang menyebabkan manusia yang baik menghasilkan negara yang kurang baik

Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah produk dari lingkungannya. Dari analisa terhadap pelaku kejahatan, hampir semuanya melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan entah di masa lalunya, atau lingkungannya sekarang, atau kombinasi dari keduanya. Orang dengan masa lalu baik bisa berubah menjadi buruk karena pengaruh lingkungannya sekarang. Dan sebaliknya orang dengan masa lalu buruk bisa menjadi baik karena lingkungannya sekarang. Lingkungan buruk dapat membangkitkan sifat buruk seseorang sekecil apapun sifat buruk itu. Sebaliknya lingkungan baik dapat menjaga orang dari berbuat buruk sebesar apapun sifat buruk orang itu.

Tetapi manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Manusia mempunyai daya adaptasi dan fleksibilitas yang tinggi, sehingga mempunyai kemampuan survival yang unggul. Sisi buruknya adalah timbulnya sifat bunglon, menjadi baik di lingkungan yang baik dan ikut-ikutan buruk di lingkungan yang buruk. Bahkan yang terparah adalah manusia bisa menjadi orang yang munafik, berpura-pura baik padahal menyimpan niat yang kurang baik. Ilustrasi dari sifat bunglon ini bisa kita ambil sebagai contoh adalah dari, maaf, katakanlah tukang becak. Apabila kita bicara dengan mereka dalam suasana yang baik, tak jarang kita dapati bahwa mereka ini adalah orang-orang yang cukup santun, tak jarang yang religius, bahkan beberapa mempunyai intelegensia yang cukup tinggi. Akan tetapi jika sudah mengayuh becaknya, maka perangai mereka bisa berubah total termasuk tak segan-segan melawan arus lalu lintas dengan berbagai alasan pembenarannya. Hal serupa terjadi di setiap bidang kehidupan dimana orang baik di lingkungan tertentu berubah menjadi buruk di lingkungan yang lain, terutama di lingkungan kerjanya. Iklim kompetisi di lingkungan kerja, selain berfungsi untuk memacu prestasi, juga seringkali memunculkan sifat egoisme yang terkadang bisa menjadi sangat merusak.

Adalah lebih tepat bila dikatakan bahwa bukan hanya lingkungan yang bisa merubah perilaku seseorang, akan tetapi juga situasi dan kondisi tertentu, dan juga banyak faktor-faktor lainnya yang terangkum dalam satu kesatuan sistem. Sistem yang buruk akan menghasilkan produk yang buruk, bahkan bisa secara sistematis merubah sesuatu yang baik menjadi buruk. Dan biasanya, seringkali orang-orang yang berada dalam sistem ini bahkan tidak menyadari keburukan dari sistem tersebut. Seperti ungkapan setengah bergurau ini: Pertama kali masuk WC yang baru saja dipakai orang lain pasti sangat terasa bau busuknya, tetapi setelah beberapa saat di dalamnya maka baunya akan terasa biasa saja, bahkan menjadi harum setelah kita ikut berpartisipasi di dalamnya. Celakanya, beberapa orang malah merasa senang dengan kondisi sistem yang buruk karena mereka bisa mengambil keuntungan darinya. Mereka akan mati-matian mempertahankan sistem yang buruk ini dari perubahan-perubahan yang dipandang tidak menguntungkan mereka.

Maka bolehlah diambil kesimpulan bahwa sistem yang buruklah yang menyebabkan semua kekacauan di negeri ini. Adapun hubungan antara manusia dengan sistem adalah seperti gerakan melingkar yang bisa bergerak ke arah negatif maupun ke arah positif. Manusia yang baik jika masuk ke sistem yang buruk akan berubah menjadi buruk, manusia yang buruk menyebabkan sistem menjadi lebih buruk, yang selanjutnya menghasilkan manusia yang lebih buruk lagi dan demikian seterusnya. Hal yang sebaliknyapun bisa terjadi, sistem yang baik akan membawa manusia ke arah yang lebih baik dan seterusnya timbal balik. Oleh karena itu setelah disadari bersama bahwa sistem yang buruklah yang menyebabkan semua kekacauan ini, dan bahwa keburukan sekecil apapun di dalam sistem tidaklah boleh ditoleransi karena sifatnya yang seperti kanker bisa menghancurkan keseluruhan sistem, maka wajib bagi setiap individu di negara ini untuk menjadi agen-agen kebaikan yang akan memberikan perbaikan kepada sistem dimanapun dia berada. Dan jangan menjadi agen keburukan, karena semenguntungkan apapun keburukan suatu sistem bagi seseorang, lama kelamaan keburukan sistem itu akan menyeret dia juga ke jurang kejatuhan. Dan juga sebaliknya, sistem yang baik pasti akan membawa kebaikan bagi semua tanpa kecuali.


 Pilih mana?


2. Sistem Yang Baik
Ada suatu pendapat bahwa pada dasarnya tidak ada sistem yang baik, yang ada adalah sistem yang lebih baik. Dalam arti kata bahwa sistem sekarang harus lebih baik dari sistem kemarin, dan sistem besok harus lebih baik dari sistem sekarang. Hal ini sesuai dengan prinsip Continuous Improvement di dalam konsep ISO, bahwa sistem tidaklah boleh statis melainkan harus selalu berkembang mengikuti perkembangan jaman yang selalu berubah. Prinsip dasar dari suatu sistem memang tidak boleh berubah, tetapi penerapannyalah yang harus selalu disesuaikan dengan perubahan environment. Karena apabila suatu sistem tidak berjalan dengan baik, akibat ketidak sesuaiannya dengan environmentnya, maka akan timbul keraguan terhadap kredibilitas sistem tersebut. Keraguan terhadap sistem akan memicu timbulnya efek-efek negatif dan bahkan dapat menggoyahkan keyakinan terhadap prinsip-prinsip dasar yang membentuk sistem tersebut. Dalam situasi yang ekstrim, maka diperlukan perombakan total terhadap suatu sistem, dan ini akan sangat banyak menuntut pengorbanan. Oleh karena itu jauh lebih bijaksana untuk meninjau terlebih dahulu, apakah suatu sistem harus dirombak total, atau hanya penerapannya saja yang harus disesuaikan.

Berbicara mengenai sistem bukanlah hal yang mudah karena sifatnya yang abstrak dan kompleks. Penggambaran yang paling sederhana dari sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari input, proses, dan output.

.

Secara sekilas teori kesisteman saat ini mensyaratkan dua hal yang wajib ada untuk menjaga sistem agar dapat berjalan dengan baik:
1.    Standar Kualitas beserta seluruh mekanisme penjaminnya.
Standar kualitas ini berlaku mulai dari input, setiap tahap proses, sampai ke output yang diharapkan. Semua harus didefinisikan dengan jelas dan terukur parameter-parameternya. Semuanya juga harus dinyatakan dalam prosedur tertulis dan didukung dengan produk-produk penjamin lainnya, seperti visi, misi, policy dan seterusnya sampai dokumentasi.
2.    Continuous Improvement.
Ini penting untuk menjamin agar sistem selalu up to date dan dapat menjawab tantangan perubahan.

Bagaimanakah hubungannya dengan kondisi parah negara ini? Besar kemungkinan bahwa sistem yang berjalan di negara ini dalam kondisi bermasalah dan sangat memprihatinkan. Hipotesa dari permasalahan di sistem kenegaraan ini adalah karena ketidakjelasan dari standar kualitas dan tidak berjalannya proses continuous improvement. Ini terjadi karena adanya mismanagement yang diwariskan oleh sistem lama maupun sistem yang sedang berjalan, dan juga akibat ulah oknum-oknum yang tidak menginginkan perubahan yang dianggap bisa merugikan mereka, meskipun perubahan itu baik bagi sistem. Permasalahan bisa jadi di keseluruhan sistem, atau terjadi di subsistem-subsistemnya, atau bahkan terjadi di sistem-sistem pendukungnya. Mencari dimana permasalahan terjadi bisa jadi akan sangat memboroskan waktu dan energi, bahkan bisa menjadi lingkaran setan tanpa solusi dengan korban kambing hitam dimana-mana. Adalah jauh lebih baik bila semua orang, semua warga negara ini, mulai bergerak dan bertindak untuk mulai memperbaiki sistem di tempatnya berada dengan cara apapun sekecil apapun bahkan jika hanya berupa niat dan doa.

Apakah sistem negara ini harus dirubah total? Perubahan total berarti adalah suatu revolusi, sesuatu yang amat sangat tidak boleh dilakukan dengan gegabah mengingat resikonya. Revolusi diperlukan apabila prinsip-prinsip dasar pembentuk sistem negara sudah dianggap tidak cocok lagi. Dan prinsip dasar pembentuk sistim negara ini tak lain tak bukan adalah Pancasila. Dan Pancasila tidaklah dapat disebut sebagai akar permasalahan, karena Pancasila jelas-jelas berisikan nilai-nilai yang luhur. Jadi cara pandang terhadap dan cara penerapan dari Pancasilalah yang salah. Selama ini Pancasila diperlakukan bagaikan batu pondasi yang penting bagi kokohnya suatu bangunan, tapi tak terlihat karena tertutup tembok dan lantai, dan akhirnya terlupakan. Mungkin para founding fathers, para pendiri negara ini, sebenarnya merumuskan Pancasila bukan hanya sekedar sebagai batu pondasi dasar negara tanpa benang merah yang jelas antar sila-silanya. Mungkin mereka sebenarnya ingin menjadikan Pancasila sebagai basic design, atau bahkan grand design, dari sistem negara ini. Apabila Pancasila dipandang sebagai suatu sistem, sebagai salah satu alternatif cara pandang terhadap Pancasila,  maka kira-kira adalah seperti gambar berikut:




Dengan cara pandang seperti di atas maka dapat terlihat dengan jelas benang merah antar sila-silanya, dan dapat diuraikan secara sistematis mulai dari sila 5 mundur hingga ke sila 1. Sila 5 adalah tujuan negara sehingga merupakan output. Sila 4, demokrasi kerakyatan, adalah proses yang harus ditempuh untuk mencapai Sila 5. Sila 3 adalah proses yang harus selalu dijaga, juga menjadi syarat dan input dari Sila 4. Demikian juga Sila 2, adalah proses yang mendahului, mendasari, dan input bagi Sila 3. Sedangkan Ketuhanan adalah sesuatu yang asasi, dan merupakan syarat mutlak dan input awal bagi seluruh prosesnya.

Output
Output dari Sistem Negara ini adalah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, maka negara akan dianggap gagal apabila output ini tidak tercapai. Pilihan Keadilan sebagai output adalah sangat tepat, sesuai dengan urutannya di Pembukaan UUD 45 dan hymne Garuda Pancasila yaitu: adil, makmur, sentosa (sejahtera). Rakyat bisa tahan dengan ketidak makmuran, akan tetapi mereka tidak akan tahan dengan ketidak adilan. Apabila keadilan sudah ditegakkan, maka kemakmuran hanya masalah waktu, dan kesejahteraan akan menyusul. Akan tetapi jika kemakmuran yang didahulukan, maka keadilan belum tentu akan tercapai, bahkan bisa jadi semakin menjauh. Dan sebagai basic design, maka seluruh subsistem-subsistem kenegaraan harus menjadikan Keadilan sebagai tolok ukur utama dari keberhasilan outputnya.

Proses Akhir
Sila 4 adalah proses terakhir, dan sebagai proses terakhir, proses ini adalah proses yang kritikal, yang bisa menjamin bahwa output yang diinginkan akan tercapai. Untuk itu parameter-paremeter dan tolok ukurnya harus benar-benar jelas dan terukur. Parameter 1 adalah Kerakyatan, jelas bahwa kepentingan rakyat berada di atas segala-galanya. Parameter 2 adalah Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, jelas disini disyaratkan bahwa wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili. Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Dengan kata lain para wakil rakyat haruslah orang-orang yang bermoral dan berilmu pengetahuan tinggi. Mustahil orang-orang yang berpolitik praktis, ber-money politic, dan berijasah beli atau palsu, bisa mengawal proses ini untuk menghasilkan output yang diinginkan. Sedangkan parameter 3 Permusyawaratan/ Perwakilan adalah nilai luhur bangsa ini yang harus didefinisikan dengan jelas agar tidak diselewengkan oleh oknum-oknum oportunis.

Proses Inti
Proses inti atau Sila 3 adalah jantung dari Pancasila. Persatuan Indonesia adalah proses yang harus terus menerus dilakukan. Hal ini dikarenakan keanekaragaman yang luar biasa di negeri ini, yang mungkin tak ada yang menyamai di dunia ini. Mulai dari beragam suku, bahasa, adat istiadat kebudayaan, agama, kepercayaan, jumlah pulau dan pantai, dan seterusnya sampai ke kekayaan alamnya. Di satu sisi, keanekaragaman ini merupakan kelebihan dari negara ini, tetapi di lain sisi keanekaragaman berpotensi laten menimbulkan bahaya disintegrasi apabila salah dalam pengelolaannya. Mempersatukan Indonesia bukanlah perkara yang mudah apalagi sepele. Mengabaikan proses ini dan menganggapnya sebagai hal yang statis, dapat berakibat timbulnya gejolak-gejolak di dalam masyarakat yang sangat merugikan, yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan dapat dicegah jauh sebelumnya. Sila 3 adalah proses dan input wajib yang mendahului dan mendasari Sila 4, dan tanpa Sila 3 maka Sila 4 akan menjadi proses yang berantakan. Manusia yang dihasilkan dari proses ini adalah orang-orang pilihan yang benar-benar mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan partai, golongan, suku, agama, keluarga, atau apapun juga, bahkan rela menyumbangkan jiwa raganya demi negara.

Proses Awal
Proses Awal adalah Sila 2, merupakan proses transisi yang mentransform input Sila 1, yaitu cara hidup berketuhanan yang cenderung individualistis, menjadi cara hidup hubungan antar manusia sebagai dasar dari hidup bernegara. Manusia adalah mahluk paling luhur, akan tetapi manusia juga dapat terjerembab menjadi makhluk yang paling rendah, yang tega mendholimi sesama dengan beribu alasan. Oleh karena itu proses Sila 2 adalah proses yang harus terus dijaga dengan tujuan menjaga keluhuran budi manusia. Salah satu tujuan lain yang penting dari proses ini adalah menumbuhkan sikap toleransi positif, yaitu toleransi dalam hal kebaikan, bukan sebaliknya yaitu toleransi dalam hal keburukan. Manusia pada dasarnya adalah sama dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Segala perbedaan yang tampak tidaklah boleh dijadikan alasan untuk bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, termasuk perbedaan agama, karena agama pada dasarnya justru menjunjung tinggi persamaan derajat manusia. Hasil proses Sila 2 merupakan input bagi proses Sila 3, yang selanjutnya menjadi input bagi proses Sila 4. Apabila Sila 2 tidak dilaksanakan dengan baik, maka sila-sila lainpun tak akan terlaksana dengan baik atau istilahnya garbage in garbage out.

Input
Sila 1 adalah dasar bagi kehidupan bernegara, syarat dan input wajib bagi sistem negara ini, dan jiwa yang menghidupi sila-sila lainnya. Dengan kata lain agar sila-sila lainnya bisa dilaksanakan dengan benar, maka Sila 1 harus dilaksanakan dulu dengan sebaik-baiknya. Berketuhanan adalah hal yang asasi dan merupakan hak asasi manusia yang paling utama. Berketuhanan adalah urusan hati, sehingga tak ada yang bisa mencampuri urusan ini kecuali sang manusianya sendiri. Badan boleh dipenjara, tetapi hati tak mungkin bisa dipenjarakan. Orang yang bertentangan dengan Sila 3 bisa diberi sanksi sebagai “pengkhianat”, orang yang bertentangan dengan Sila 2 bisa diberi sanksi sebagai “penjahat”, tetapi orang yang tidak beriman hanya Tuhan yang bisa memberi sanksi. Negara tidaklah bisa mencampuri urusan agama, tapi wajib memberikan environment yang baik agar agama bisa bertumbuh kembang dengan baik. Sila 1 memberikan benang merah yang jelas antara agama dan Pancasila, bahwa agama adalah dasar dari Pancasila, bahwa Pancasila tidaklah bersaing dengan agama, apalagi dimaksudkan untuk menggantikan agama. Ruang lingkup agama adalah mencakup seluruh kehidupan manusia lahir batin dunia akhirat, sedangkan Pancasila adalah khusus dimaksudkan untuk membentuk kehidupan bernegara.  Apabila digambarkan kurang lebih adalah seperti berikut:


Dengan cara pandang di atas maka Pancasila terlihat jelas sebagai satu kesatuan sistem, yang tidak dapat dipisah-pisahkan antar sila-silanya. Jika satu sila saja kurang atau tidak dilaksanakan dengan benar, maka output yang diharapkan tidak akan tercapai yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan jika keadilan tidak tercapai, maka tujuan-tujuan lain sesuai dengan yang tercantum di Pembukaan UUD 45 akan sulit dicapai atau bahkan mustahil. Tanpa Sila 1, maka Sila 2 akan rapuh. Jika Sila 2 rapuh, maka Sila 3 tak akan terwujud dengan utuh. Jika Sila 3 tak utuh, maka Sila 4 tidak akan berjalan benar, dan Sila 5, sebagai output yang diharapkan, tak akan tercapai.

Demikian salah satu alternatif cara pandang terhadap Pancasila, dengan harapan dapat memicu munculnya cara pandang-cara pandang lain yang lebih baik, sehingga dapat menghidupkan dan mensuburkan kembali jiwa Pancasila di negeri ini. Dengan hidupnya kembali Pancasila di hati rakyat, menjadi darah daging tulang sumsum rakyat, dihayati dan diterapkan dengan sepenuh hati dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari yang paling kecil yaitu sistem di dalam keluarga, sampai sistem yang besar yaitu sistem kenegaraan, maka dengan ridho-Nya, Indonesia pasti akan menjadi negara yang adil, makmur, sentosa, sejahtera, dan jaya selalu. Atau paling tidak, dapat mulai mengurai benang kusut negeri ini. Amin.

- 28 Oktober 2011 -

* 0 komentar:

*
TOLERANSI VS TENGGANG RASA
Toleransi dan tenggang rasa mempunyai arti yang mirip. Akan tetapi dalam penggunaannya timbul pergeseran arti, sehingga kurang lebih menjadi seperti berikut: Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan kita terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita.



MENJAGA TRANSPARANSI DAN KOMUNIKASI
Menjaga transparansi dan komunikasi adalah penting sekali untuk mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang bisa merugikan antara dua belah pihak.
Baca selengkapnya >>

Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Hikmat dapat diartikan sebagai wawasan dan kemampuan untuk menalar jauh ke depan melampaui alam kehidupan di dunia saja. Orang yang berhikmat memandang kehidupan dunia adalah satu kesatuan dengan kehidupan di akhirat kelak. Mereka memahami betul hakekat dari baik dan buruk, sehingga mereka tidak akan mengeksploitasi kehidupan dunia tanpa memikirkan akibatnya kelak di akhirat.

Bijaksana adalah wawasan dan kemampuan untuk berpikir jauh ke depan di dunia ini. Orang yang bijaksana mampu menganalisa akibat suatu tindakan, manfaat dan mudharatnya bagi orang lain (bangsa, masyarakat) maupun bagi diri mereka sendiri, tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka menengah, dan jangka panjang bahkan sesudah mereka tidak hidup di dunia ini lagi.

Dengan kata lain para pemimpin, termasuk didalamnya adalah para wakil rakyat, haruslah orang-orang yang bermoral, berilmu pengetahuan tinggi, dan punya wawasan intelektual yang lengkap. Para pemimpin dan wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili.

Pada dasarnya, seluruh nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila adalah termasuk di dalam Hikmat Kebijaksanaan ini. Nilai-nilai luhur itu adalah: nilai-nilai luhur agama di Sila 1, nilai-nilai luhur kemanusiaan di Sila 2, nilai-nilai pentingnya persatuan di Sila 3, nilai-nilai keutamaan dari demokrasi kerakyatan di Sila 4, dan pemahaman tentang keadilan sosial sebagai tujuan akhir dan pedoman arah bagi sila-sila sebelumnya di Sila 5.