Islam dan HAM

Prihatin sekali rasanya membaca berita VOA 24/02/2012 tentang warga negara Iran yang dihukum mati karena pindah agama, jika memang berita itu benar. Sangat menyedihkan menyaksikan bahwa manusia bisa merubah sesuatu yang indah menjadi begitu buruknya. Bahwa agama Islam yang begitu luhur ajarannya, ditangan umatnya sendiri, malah bisa berubah menjadi monster yang mengerikan. Bahwa Islam yang rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, menjadi alat teror bagi kalangan tertentu. Ini sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad yang selalu mengagungkan dan mengindahkan Islam. Sebagai pengagum Rasulullah, saya sangat memahami bahwa banyak sekali manusia yang salah sangka tentang beliau. Bukan hanya non-muslim, bahkan umat beliau sendiri banyak yang salah sangka, yang melakukan perbuatan yang tidak akan pernah beliau lakukan. Salah satunya adalah bahwa Rasulullah tidak pernah menghukum mati orang yang murtad. Beliau bukan orang yang senang dengan kekerasan, beliau tidak pernah berperang tanpa alasan yang kuat, bahkan sesungguhnya beliau adalah seseorang yang sangat cinta damai. Salah satu cerita hadist yang sangat menggambarkan karakter beliau adalah kebiasaan beliau memberi makan seorang tua yang buta. Setiap hari selama menyuapi orang tua itu, Rasulullah dengan ikhlasnya mendengarkan orang itu selalu mencaci maki dan memfitnah beliau. Sesudah Rasulullah wafat, barulah orang tua tersebut tahu bahwa orang yang setiap hari memberinya makan adalah Nabi Muhammad, orang yang selalu dia caci maki dan fitnah.

Al Quran sendiri tidak menjelaskan tentang hukuman mati bagi orang yang murtad. Hukuman bagi mereka ditetapkan kelak di akhirat. Justru satu ayat Al Quran menekankan "Lakum dinukum waliyadin - Bagimu agamamu bagiku agamaku, dan "Laa ikraha fiddiin - Tidak ada paksaan dalam agama". Dasar menetapkan hukuman mati adalah dari hadist. Sedangkan hadist sangatlah situasional dan tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dalam penafsirannya. Contoh dari situasional hadist adalah bahwa Rasulullah selalu mengenakan sorban dan pakaian adat Arab jaman dahulu, dan tentu saja hal itu sama sekali tidak wajib untuk diikuti oleh umatnya yang tersebar di seluruh dunia di jaman modern ini. Saya sangat meyakini bahwa hadist yang menghukum mati orang yang murtad adalah berkaitan dengan kondisi peperangan yang dihadapi oleh umat Islam saat itu. Jadi hukuman mati adalah lebih ditujukan kepada perbuatan desersi dari orang yang murtad. Adalah hal yang sangat wajar jika perbuatan desersi atau pengkhianatan dijatuhi hukuman mati, terutama di dalam peperangan, dikarenakan efeknya yang sangat merusak. Apabila analisa tersebut benar, maka penjatuhan hukuman mati bagi orang yang murtad, bukan dalam konteks desersi atau perang, adalah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia - HAM. Dan hal itu dilarang dalam agama Islam, karena Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Semua pihak yang melanggar HAM adalah sudah selayaknya dituntut di muka pengadilan. Akan tetapi jika sudah menyangkut agama, maka masalahnya tidaklah semudah itu lagi. Orang yang meyakini sesuatu atas dasar agamanya biasanya tidak akan segan-segan mengorbankan nyawanya. Oleh karena itu segala sesuatu permasalahan yang berkaitan dengan agama harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati. Adalah perbuatan yang sangat tidak bijaksana jika untuk menolong satu orang harus mengorbankan satu negara. Jangan sampai ingin menghukum satu pelanggaran HAM, malah lebih banyak melakukan pelanggaran HAM yang lain. Pasti ada jalan lain yang bisa ditempuh. Tindakan kekerasan, apalagi yang menjurus kepada peperangan, sudah tidak relevan lagi dilakukan di jaman serba informasi ini. Sebagai contoh adalah bahwa mungkin di jaman dahulu, peperangan adalah cara yang paling efektif untuk menyampaikan suatu informasi, termasuk ajaran agama. Itu karena biasanya para penguasa suatu wilayah akan sangat protektif dengan informasi-informasi baru, sehingga mereka harus ditaklukkan terlebih dahulu. Tetapi di jaman teknologi informasi ini, hal itu sudah tidak layak dilakukan lagi. Peperangan fisik harus dihentikan, peperangan informasilah yang harus dilakukan. Peperangan fisik hanya boleh dilakukan dalam situasi yang benar-benar darurat, dengan dasar alasan yang benar-benar kuat, dan harus bisa dipertanggung jawabkan.

Penanganan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Iran ini tidak boleh dilakukan dengan gegabah. Adalah lebih baik jika melibatkan pihak ketiga yang netral. Dalam hal ini negara Indonesia adalah kandidat yang sangat kuat. Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Islam yang sangat dihargai oleh negara-negara Islam lain di dunia. Masyarakat Indonesia yang sangat heterogen menjadikan bangsa ini bangsa yang toleran, sehingga mudah untuk bersikap netral, dan netralitas sangat penting untuk dapat menghasilkan output yang objective. Terlebih lagi karena bangsa Indonesia memiliki Pancasila, falsafah negara yang merangkum semua keistimewaan bangsa ini, yang termasuk di dalamnya adalah menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Kekuatan dan keistimewaan Pancasila ini sangat disadari dan diyakini oleh salah seorang pencetusnya yaitu Ir. Soekarno, sehingga beliau dengan lantang dan bangga berbicara tentangnya dihadapan bangsa-bangsa lain di sidang PBB. Beliau pula salah seorang pendiri perkumpulan negara-negara non-blok yang ikut berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia di era perang dingin. Peran aktif ini hendaknya selalu dijaga oleh Indonesia, yang tentu saja dalam pelaksanaannya perlu dukungan dari negara-negara adidaya, agar dapat menimbulkan efek sinergi yang sangat dibutuhkan dalam berperan aktif terutama pada penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia Islam.

* 0 komentar:

*
TOLERANSI VS TENGGANG RASA
Toleransi dan tenggang rasa mempunyai arti yang mirip. Akan tetapi dalam penggunaannya timbul pergeseran arti, sehingga kurang lebih menjadi seperti berikut: Toleransi adalah cara kita menjaga perasaan kita terhadap perbuatan orang lain. Tenggang rasa adalah cara kita menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan kita.



MENJAGA TRANSPARANSI DAN KOMUNIKASI
Menjaga transparansi dan komunikasi adalah penting sekali untuk mencegah dan mengantisipasi hal-hal yang bisa merugikan antara dua belah pihak.
Baca selengkapnya >>

Hikmat dan Kebijaksanaan mempunyai arti yang hampir sama, Hikmat lebih ke arah ketinggian level batin, sedangkan Bijaksana lebih ke arah ketinggian level berpikir. Hikmat dapat diartikan sebagai wawasan dan kemampuan untuk menalar jauh ke depan melampaui alam kehidupan di dunia saja. Orang yang berhikmat memandang kehidupan dunia adalah satu kesatuan dengan kehidupan di akhirat kelak. Mereka memahami betul hakekat dari baik dan buruk, sehingga mereka tidak akan mengeksploitasi kehidupan dunia tanpa memikirkan akibatnya kelak di akhirat.

Bijaksana adalah wawasan dan kemampuan untuk berpikir jauh ke depan di dunia ini. Orang yang bijaksana mampu menganalisa akibat suatu tindakan, manfaat dan mudharatnya bagi orang lain (bangsa, masyarakat) maupun bagi diri mereka sendiri, tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka menengah, dan jangka panjang bahkan sesudah mereka tidak hidup di dunia ini lagi.

Dengan kata lain para pemimpin, termasuk didalamnya adalah para wakil rakyat, haruslah orang-orang yang bermoral, berilmu pengetahuan tinggi, dan punya wawasan intelektual yang lengkap. Para pemimpin dan wakil rakyat harus orang-orang pilihan yang terbaik dari yang diwakilinya. Mereka harus memiliki Hikmat Kebijaksanaan yang lebih unggul dari yang diwakili.

Pada dasarnya, seluruh nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila adalah termasuk di dalam Hikmat Kebijaksanaan ini. Nilai-nilai luhur itu adalah: nilai-nilai luhur agama di Sila 1, nilai-nilai luhur kemanusiaan di Sila 2, nilai-nilai pentingnya persatuan di Sila 3, nilai-nilai keutamaan dari demokrasi kerakyatan di Sila 4, dan pemahaman tentang keadilan sosial sebagai tujuan akhir dan pedoman arah bagi sila-sila sebelumnya di Sila 5.